Ada sebuah cerita tentang ide. Dalam perjalanan antara Paris dan Vicennes ditahun 1749, Jean-Jacques Rousseau membaca pengumuman sayembara di Koran Mercure de France. Berita yang menarik hatinya adalah berita Akademi kota Dijon mengadakan sayembara karya tulis. Topik yang diangkat: Apakah kemajuan dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan memberikan sumbangan untuk memurnikan moralitas? Seketika itu, Rousseau, yang dikenal agak sedikit sinting, melihat dunia dari perspektif berbeda dan menjadi manusia baru. Pertanyaan Akademi Dijon telah membuka mata Rousseau. Dibawah sebuah pohon Rousseau larut dalam pikirannya. Ia menangis dan menjadi begitu emosional. Pencariannya selama 10 tahun usai sudah. Ia menjawab pertanyaan Akademi Dijon dengan karya tulis yang esensinya bilang: Tidak. Dan Rousseau menang.
Ide itu bagaikan hujan turun ke bumi. Begitu berarti ketika menyapu kemarau, namun begitu biasa di musim hujan. Ide adalah piranti utama lahirnya karya-karya besar manusia. Baik yang tertulis, sudah berbentuk maupun yang masih abstrak.
Ide bisa datang dari mana saja. Bisa datang tiba-tiba seperti yang dialami Rousseau, bisa juga dipaksakan atau distimulus. Ide biasanya lahir dari permenungan seseorang terhadap suatu peristiwa atau kejadian. Peristiwa itu bisa begitu dekat dengan si subyek, namun bisa juga jauh. Satu syarat yang bisa menstimulus timbulnya ide adalah subyek harus berhubungan dengan peristiwa atau minimal si subyek tahu peristiwa yang sedang/telah terjadi. Pada Kaizen misalnya, subyek menggali ide dari apa yang dikerjakan sehari-hari. Namun pada para decision maker, seringkali ada jarak antara peristiwa dengan dia. Media penghubung antara peristiwa dengan dirinya biasanya adalah teknologi informasi, kertas yang berisi informasi dan pembawa berita/subyek lain.
Soal arus masuk ide, katanya, ada 2 kesulitan yang sering dihadapi. Pertama, tidak semua orang punya ide. Kedua, ada orang yang tidak mau menyampaikan idenya. Faktanya, kalau ada brainstorming cuma yang itu-itu saja yang mengajukan ide, dan yang lain menyimak ide yang masuk dengan tenang sambil memberi kesan sedang berpikir keras. Mensiasati fenomena ini muncul ide untuk memberdayakan para “pemikir” agar mau menyampaikan idenya. Dengan asumsi si “pemikir” agak sungkan bicara maka medianya diganti. Jika sebelumnya ide disampaikan secara lisan maka dimodifikasi penyampaiannya lewat tulisan. Lahirlah metode Affinity Diagram.
Affinity diagram (AD) bertujuan untuk mengumpulkan ide sebanyak-banyaknya atas suatu isu, masalah, topik yang telah disepakati team. Dengan perkembangan teknologi anggota team bisa ber-AD ria lewat SMS, email atau chating. Yang penting isu, masalah atau topiknya sudah disepakati; dan juga ada moderator yang menjembatani setiap anggota team.
Apakah ide baru selalu bisa diterima orang? Belum tentu tuh. Art Fry penemu Post-it dari 3M, mengalaminya. Post-it adalah media reminder atau pencatat pesan pada kertas kecil yang warnanya ngejreng (eye catching). Pertama kali ide post-it dipresentasikan, ia banyak mendapat hambatan dari bagian Marketing dan Production. Orang Marketing bilang: pasar tidak butuh post-it. Tapi Fry jalan terus. Dia bikin riset pasar sendiri. Orang Production bilang: produknya sulit dibuat di pabrik karena lem dan kertasnya tidak ada. Lagi-lagi Fry jalan terus. Dia buat banyak percobaan sampai mesinnya ditemukan. Sekarang, post-it adalah salah satu penghasil devisa besar di 3M.
Soal perijinan ide, Colin Powell bilang lebih gampang dapat maaf daripada dapat ijin. Tapi untuk dapat maaf ide mesti dilaksanakan dahulu.
Ide tanpa perbuatan adalah mati alias tidak berguna. Rousseau tidak akan pernah jadi filsuf ternama di dunia jika idenya terus dipendam diotaknya. Art Fry juga tidak akan berkontribusi banyak buat 3M jika idenya tidak dilaksanakan/dieksekusi. Jadi langkah crusial selanjutnya setelah ada ide ya dilaksanakan.
Comments
Post a Comment