Setiap orang adalah Pemimpin. Pertanyaan yang spontan muncul: “Masa sih?”. Pertanyaan selanjutnya dengan term leadership-nya John Kotter (Professor Harvard Business School) adalah “Apa iya saya sudah mengarahkan orang lain lewat visi hebat yang jauh menggapai masa depan?”; “Apa iya saya sudah memadukan sekian banyak orang?”; “Apa mungkin saya sudah memotivasi dan memberi inspirasi bagi orang lain?”; dan “Apakah selama ini saya sudah membuat perubahan positif?”. Gelap.
Chris Lowney lewat buku Heroic Leadership (sebuah buku yang inspiratif, mengasyikkan dan mutu terjemahannya oke) memberi pandangan berbeda tentang makna kepemimpinan. Katanya:
1. Kita semua pemimpin. Dan kita memimpin sepanjang waktu baik dengan cara yang baik atau buruk.
2. Kepemimpinan keluar dari dalam. Kepemimpinan melekat pada siapa aku (pribadi).
3. Kepemimpinan bukan suatu tindakan. Kepemimpinan adalah hidup seseorang. Kepemimpinan adalah cara hidup seseorang.
4. Kepemimpinan adalah proses yang berlangsung terus-menerus.
Lowney menulis buku berdasarkan pengalaman dan riset mendalamnya pada Serikat Jesus (SJ). SJ adalah sebuah perkumpulan religius Katolik yang anggotanya laki-laki dan profesinya Biarawan (Pastor dan Bruder).
Sekilas tentang Serikat Jesus: Serikat Jesus (selanjutnya disebut Jesuit) didirikan tahun 1540 oleh Ignatius Loyola bersama 9 rekan, yang disebut sebagai Putra-Putra terbaik Eropa. Mereka mulai dengan modal nol dan tanpa rencana bisnis apapun. Orang Human Resources (HR) akan menyangkal fakta tersebut. Justru 10 orang itulah modal utama/Human Capital awal Jesuit. Merekalah orang yang selalu berkembang seiring perkembangan individu dan perubahan jaman. Sejak awal didirikan, Jesuit langsung menjadi daya pikat luar biasa bagi para Bangsawan dan Ilmuwan Eropa saat itu. Daya jelajahnya pun tinggi. Mereka merambah isi “bola dunia” termasuk Jepang, India dan China yang kala itu sangat sulit dicapai. Banyak Jesuit yang mati dalam perjalanan ke Asia.
Seperti banyak perusahaan di dunia, Jesuit juga mengalami masa pasang surut. Kekurangan Human Capital, dan konflik internal dan konflik dengan lingkungan eksternal (Kerajaan/Negara, Serikat Religius lain dan Masyarakat) adalah contoh persoalan yang dihadapi. Sempat memiliki anggota hingga 25.000 di tahun 1700-an. Namun intrik dan fitnah menyebabkan Jesuit dibubarkan Paus Clement XIV pada tahun 1773. Anggotanya ditangkapi dan diperlakukan sebagai orang-orang buangan tak berharga, asset-assetnya disita. Hebatnya, kendati ordonya dibubarkan beberapa Jesuit masih dipercaya Paus untuk jadi Uskup di beberapa tempat. Kerja keras gugus-gugus kecil Jesuit yang berbasis di Rusia, dibawah perlindungan Ratu Katrina yang mendambakan pendidikan bermutu bagi rakyatnya, berbuah manis 40 tahun kemudian. Paus Pius VII memutuskan Jesuit direhabilitasi sehingga bisa aktif melaksanakan misinya lagi. Saat ini tak kurang dari 21.000 Imam Jesuit mengelola 2000 institusi yang tersebar di seluruh dunia. Keunikan Jesuit: anggotanya semua laki-laki, dan mereka hidup selibat (tidak menikah).
Menurut Lowney ada 4 hal yang jadi kunci sukses kepemimpinan Jesuit: pertama, Kesadaran Diri yaitu kemauan dan kemampuan untuk memahami kekuatan, kelemahan, nilai-nilai dan pandangan hidup masing-masing. Tentang kesadaran diri. Dikatakan bahwa orang yang tahu siapa dirinya dan apa yang diinginkannya dapat mengejar keinginan tersebut penuh semangat dan bisa mengilhami orang lain untuk berbuat begitu. Jesuit biasanya membentuk kesadaran diri calon anggotanya melalui latihan rohani selama 1 bulan.
Kedua, Ingenuitas yaitu dorongan dan tindakan untuk selalu berinovasi dan beradaptasi dengan penuh keyakinan diri untuk merangkul dunia yang terus berubah. Kesadaran diri merupakan syarat keberhasilan seorang pemimpin dalam membebaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan, prefrensi-preferensi, dan sikap “kita selalu menempuh cara ini” (this is our way). Selain keyakinan dan nilai-nilai dasar yang dianut, orang perlu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi setiap saat. Siapapun yang dapat beradaptasi dengan baik maka “seluruh dunia akan menjadi rumahnya”.
Ketiga, Cinta yaitu kemauan dan kemampuan melibatkan orang lain dengan sikap positif, dan penuh cinta kasih. Jika Machiavelli memberi nasihat: “ditakuti lebih aman daripada dicintai” maka Ignatius Loyola menasihati para Jesuit agar mengelola dengan segenap cinta, kesantunan, dan belas kasih. Sebab kelompok dapat berkembang dalam lingkungan yang diresapi semangat cinta kasih daripada ketakutan. Contoh yang unik adalah Santo Fransiskus Xaverius yang menjalankan misi di Asia sehingga terpisah ribuan kilometer dari koleganya. Fransiskus biasa menimba energi yang begitu besar dari potongan kertas yang berisi tanda tangan para koleganya. Menurutnya tanda tangan itu adalah bukti cinta yang ditunjukkan koleganya dulu dan sekarang. Mungkinkah SK, surat edaran dan memo jadi sumber energi bagi teman-teman yang bertugas di pedalaman?
Terakhir, Heroisme yaitu kemampuan selalu memberi semangat untuk diri sendiri dan orang lain dengan ambisi-ambisi yang heroik. Pemimpin adalah orang yang dapat membayangkan masa depan yang inspiratif, dan berjuang mewujudkannya. Loyola menumbuhkan budaya untuk “membangkitkan keinginan besar”. Hasilnya, banyak karya monumental Jesuit di dunia ini. Diantaranya kalender Gregorian yang diarsiteki Clavius, peta Cina, camp reduksi bagi Indian Guarani di Paraguay, kolese-kolese (sekolah lanjutan) berkualitas yang tersebar di seluruh dunia (di Jawa sendiri kalau tidak salah ada 7 kolese).
Secara langsung dan tidak langsung, ke-4 nilai kepemimpinan Jesuit yang dipetakan Lowney telah mempengaruhi dunia. Secara langsung mereka mempengaruhi melalui tindakan dan pemikiran yang tersebar dalam publikasi ilmiah atau media. Romo Sandyawan, SJ salah satu contohnya.. Secara tak langsung Jesuit berperan dalam meletakkan nilai-nilai dasar, karakter dan kepribadian melalui jalur pendidikan yang bermutu. Tak kurang dari Bill Clinton, Fidel Castro, Francois Mitterand adalah alumni-alumni sekolah Jesuit yang terkemuka di dunia.
Kunci keberhasilan sesungguhnya adalah ke-4 nilai tersebut bukan hanya sekedar dipahami dan dimengerti namun dijadikan cara bertindak (modo de preceder).
Reference:
Chris Lowney, “Heroic Leadership: Praktik Terbaik “Perusahaan” Berumur 450 Tahun yang Mengubah Dunia”, Gramedia Pustaka Utama 2005
Chris Lowney lewat buku Heroic Leadership (sebuah buku yang inspiratif, mengasyikkan dan mutu terjemahannya oke) memberi pandangan berbeda tentang makna kepemimpinan. Katanya:
1. Kita semua pemimpin. Dan kita memimpin sepanjang waktu baik dengan cara yang baik atau buruk.
2. Kepemimpinan keluar dari dalam. Kepemimpinan melekat pada siapa aku (pribadi).
3. Kepemimpinan bukan suatu tindakan. Kepemimpinan adalah hidup seseorang. Kepemimpinan adalah cara hidup seseorang.
4. Kepemimpinan adalah proses yang berlangsung terus-menerus.
Lowney menulis buku berdasarkan pengalaman dan riset mendalamnya pada Serikat Jesus (SJ). SJ adalah sebuah perkumpulan religius Katolik yang anggotanya laki-laki dan profesinya Biarawan (Pastor dan Bruder).
Sekilas tentang Serikat Jesus: Serikat Jesus (selanjutnya disebut Jesuit) didirikan tahun 1540 oleh Ignatius Loyola bersama 9 rekan, yang disebut sebagai Putra-Putra terbaik Eropa. Mereka mulai dengan modal nol dan tanpa rencana bisnis apapun. Orang Human Resources (HR) akan menyangkal fakta tersebut. Justru 10 orang itulah modal utama/Human Capital awal Jesuit. Merekalah orang yang selalu berkembang seiring perkembangan individu dan perubahan jaman. Sejak awal didirikan, Jesuit langsung menjadi daya pikat luar biasa bagi para Bangsawan dan Ilmuwan Eropa saat itu. Daya jelajahnya pun tinggi. Mereka merambah isi “bola dunia” termasuk Jepang, India dan China yang kala itu sangat sulit dicapai. Banyak Jesuit yang mati dalam perjalanan ke Asia.
Seperti banyak perusahaan di dunia, Jesuit juga mengalami masa pasang surut. Kekurangan Human Capital, dan konflik internal dan konflik dengan lingkungan eksternal (Kerajaan/Negara, Serikat Religius lain dan Masyarakat) adalah contoh persoalan yang dihadapi. Sempat memiliki anggota hingga 25.000 di tahun 1700-an. Namun intrik dan fitnah menyebabkan Jesuit dibubarkan Paus Clement XIV pada tahun 1773. Anggotanya ditangkapi dan diperlakukan sebagai orang-orang buangan tak berharga, asset-assetnya disita. Hebatnya, kendati ordonya dibubarkan beberapa Jesuit masih dipercaya Paus untuk jadi Uskup di beberapa tempat. Kerja keras gugus-gugus kecil Jesuit yang berbasis di Rusia, dibawah perlindungan Ratu Katrina yang mendambakan pendidikan bermutu bagi rakyatnya, berbuah manis 40 tahun kemudian. Paus Pius VII memutuskan Jesuit direhabilitasi sehingga bisa aktif melaksanakan misinya lagi. Saat ini tak kurang dari 21.000 Imam Jesuit mengelola 2000 institusi yang tersebar di seluruh dunia. Keunikan Jesuit: anggotanya semua laki-laki, dan mereka hidup selibat (tidak menikah).
Menurut Lowney ada 4 hal yang jadi kunci sukses kepemimpinan Jesuit: pertama, Kesadaran Diri yaitu kemauan dan kemampuan untuk memahami kekuatan, kelemahan, nilai-nilai dan pandangan hidup masing-masing. Tentang kesadaran diri. Dikatakan bahwa orang yang tahu siapa dirinya dan apa yang diinginkannya dapat mengejar keinginan tersebut penuh semangat dan bisa mengilhami orang lain untuk berbuat begitu. Jesuit biasanya membentuk kesadaran diri calon anggotanya melalui latihan rohani selama 1 bulan.
Kedua, Ingenuitas yaitu dorongan dan tindakan untuk selalu berinovasi dan beradaptasi dengan penuh keyakinan diri untuk merangkul dunia yang terus berubah. Kesadaran diri merupakan syarat keberhasilan seorang pemimpin dalam membebaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan, prefrensi-preferensi, dan sikap “kita selalu menempuh cara ini” (this is our way). Selain keyakinan dan nilai-nilai dasar yang dianut, orang perlu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi setiap saat. Siapapun yang dapat beradaptasi dengan baik maka “seluruh dunia akan menjadi rumahnya”.
Ketiga, Cinta yaitu kemauan dan kemampuan melibatkan orang lain dengan sikap positif, dan penuh cinta kasih. Jika Machiavelli memberi nasihat: “ditakuti lebih aman daripada dicintai” maka Ignatius Loyola menasihati para Jesuit agar mengelola dengan segenap cinta, kesantunan, dan belas kasih. Sebab kelompok dapat berkembang dalam lingkungan yang diresapi semangat cinta kasih daripada ketakutan. Contoh yang unik adalah Santo Fransiskus Xaverius yang menjalankan misi di Asia sehingga terpisah ribuan kilometer dari koleganya. Fransiskus biasa menimba energi yang begitu besar dari potongan kertas yang berisi tanda tangan para koleganya. Menurutnya tanda tangan itu adalah bukti cinta yang ditunjukkan koleganya dulu dan sekarang. Mungkinkah SK, surat edaran dan memo jadi sumber energi bagi teman-teman yang bertugas di pedalaman?
Terakhir, Heroisme yaitu kemampuan selalu memberi semangat untuk diri sendiri dan orang lain dengan ambisi-ambisi yang heroik. Pemimpin adalah orang yang dapat membayangkan masa depan yang inspiratif, dan berjuang mewujudkannya. Loyola menumbuhkan budaya untuk “membangkitkan keinginan besar”. Hasilnya, banyak karya monumental Jesuit di dunia ini. Diantaranya kalender Gregorian yang diarsiteki Clavius, peta Cina, camp reduksi bagi Indian Guarani di Paraguay, kolese-kolese (sekolah lanjutan) berkualitas yang tersebar di seluruh dunia (di Jawa sendiri kalau tidak salah ada 7 kolese).
Secara langsung dan tidak langsung, ke-4 nilai kepemimpinan Jesuit yang dipetakan Lowney telah mempengaruhi dunia. Secara langsung mereka mempengaruhi melalui tindakan dan pemikiran yang tersebar dalam publikasi ilmiah atau media. Romo Sandyawan, SJ salah satu contohnya.. Secara tak langsung Jesuit berperan dalam meletakkan nilai-nilai dasar, karakter dan kepribadian melalui jalur pendidikan yang bermutu. Tak kurang dari Bill Clinton, Fidel Castro, Francois Mitterand adalah alumni-alumni sekolah Jesuit yang terkemuka di dunia.
Kunci keberhasilan sesungguhnya adalah ke-4 nilai tersebut bukan hanya sekedar dipahami dan dimengerti namun dijadikan cara bertindak (modo de preceder).
Reference:
Chris Lowney, “Heroic Leadership: Praktik Terbaik “Perusahaan” Berumur 450 Tahun yang Mengubah Dunia”, Gramedia Pustaka Utama 2005
Comments
Post a Comment